Pembaca,
Takfir, satu perkara yang sangat mendasar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kita untuk tidak mudah menuduh kafir kepada saudaranya. Sebab, bila tuduhan kafir tersebut tidak benar, maka akan berbalik kepada yang menuduh. Berikut, kami sampaikan pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin tentang takfir.
Semoga dapat menambah pengetahuan dan pemahaman kita terhadap urgensi takfir. Disadur dari dua kitab Beliau rahimahullah, yaitu : Kitab Al Al Qaul Al Mufid ‘Ala Kitab At Tauhid dan Syarh Kasyfu Asy Syubuhat (Wa Yalihi Syarh Al Ushul As Sittah).
ORANG-ORANG YANG BERHUKUM TIDAK DENGAN APA YANG DITURUNKAN ALLAH [1]
Tentang orang-orang yang berhukum tidak dengan hukum yang diturunkan Allah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan tiga penyebutan, yaitu :
1. Kafir, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman dalam surat Al Ma’idah : 44, (Artinya: “Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir”.)
2. Dhalim, Allah berfirman dalam surat Al Ma’idah : 45, (Artinya: “Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang dhalim”).
3. Fasik, Allah berfirman dalam surat Al Maidah : 47 (Artinya : “Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”).
Berkaitan dengan tiga ayat di atas, para ulama berbeda pendapat.
Pertama : Ada yang mengatakan, tiga penyebutan (sifat) pada tiga ayat tersebut ditujukan kepada satu pribadi. Sebab, orang kafir adalah juga orang yang dhalim, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang dhalim”.[Al Baqarah:254].
Orang kafir adalah juga orang fasik, berdasarkan firmanNya:
وَأَمَّا الَّذِينَ فَسَقُوا فَمَأْوَاهُمُ النَّارُ
“Adapun orang-orang yang fasik, maka tempat kembali mereka adalah neraka” [As Sajdah:20].
Arti ‘fasaquu’ (orang-orang yang fasik dalam ayat ini) ialah orang-orang yang kafir.
Kedua : Adapula yang mengatakan, tiga penyebutan (sifat) tersebut diperuntukkan bagi tiga pribadi. Masing-masing sesuai dengan keadaan hukumnya, yaitu:
A. Seseorang akan menjadi kafir, jika mengalami salah satu diantara tiga keadaan berikut:
1. Jika meyakini bolehnya berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah, dengan dalil:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki” [Al Ma’idah:50].
Setiap hukum yang menyelisihi hukum Allah, berarti merupakan hukum jahiliyah. Berdasarkan dalil ijma’ yang qath’i, tidak diperbolehkan berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah. Dengan demikian, orang yang menghalalkan dan memperbolehkan berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah, berarti menyelisihi ijma’ kaum muslimin yang qath’i. Berarti ia kafir dan murtad. Keadaannya, seperti orang yang meyakini halalnya zina dan meminum khamr, atau meyakini haramnya roti atau susu.
2. Jika meyakini, bahwa hukum selain Allah sama baiknya dengan hukum Allah.
3. Jika meyakini, bahwa hukum selain Allah lebih baik dari hukum Allah.
Berdasarkan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” [Al Ma’idah:50].
Ayat ini mengandung ketetapan, sesungguhnya hukum Allah merupakan hukum terbaik, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ
“Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?” [At Tiin:8].
Apabila Allah merupakan hakim yang terbaik hukumnya (sebab Allah adalah Ahkamul Hakimin), maka barangsiapa yang mengklaim, bahwa hukum selain Allah sama baiknya dengan hukum Allah, atau bahkan lebih baik lagi, berarti ia telah kafir, sebab ia tidak percaya kepada Al Qur’an.
B. Atau, seseorang hanya akan menjadi dhalim (tidak kafir) jika:
Meyakini, bahwa hukum yang diturunkan Allah adalah sebaik-baik hukum. Merupakan hukum yang paling bermanfaat bagi hamba dan negara, serta mestinya wajib diterapkan. Namun, karena kebencian dan kedengkian terhadap orang yang diadili, ia (orang yang menghakimi) menghukumi berdasarkan selain apa yang diturunkan Allah, maka ia dhalim.
C. Atau, seseorang hanya akan menjadi fasik (tidak kafir), jika:
Dia menerapkan hukum menurut hawa nafsunya. Misalnya, menghukum seseorang karena suap yang diterimanya, atau karena kerabat, sahabat. Atau karena ada sesuatu harapan di balik itu. Padahal ia meyakini, bahwa hukum Allah adalah yang terbaik dan wajib diikuti, maka ia fasik. Meskipun bisa juga dikatakan dhalim, namum sifat fasik lebih tepat bagi dirinya.
Diantara dua pendapat di atas, maka yang kuat adalah pendapat kedua. Yaitu, tiga penyebutan yang diberikan Allah (kafir, dhalim dan fasik) tersebut diperuntukkan bagi tiga pribadi. Masing-masing sesuai dengan keadaannya (bisa kafir, atau hanya dhalim, atau fasik, peny.).
Adapun bagi orang yang membuat undang-undang hukum lain -padahal ia mengetahui ada hukum Allah dan hukum buatannya ini menyelisihi hukum Allah- maka orang ini telah mengganti syari’at Allah dengan undang-undang buatannya. Berarti ia kafir –akan tetapi beliau telah rujuk dari pendapat ini, sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Abdul Aziz ar-Rais dan juga bisa dibaca dalam Kitab Fitnatu Takfir demikian juga apa yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim telah dijelaskan maksudnya oleh Syaikh Bin Baz (muridnya) bahwa hal itu dirinci, artinya tidak bisa dimutlakkan sebagai kufur akbar, sebagaimana telah sahih tafsir Ibnu Abbas tentang ayat tersebut , ed-. Sebab, dengan adanya undang-undang buatannya ini, tidaklah ia membenci syari’at Allah, melainkan karena pasti -ia yakini- bahwa undang-undang tersebut lebih baik bagi manusia dan negara dibanding syari’at Allah.
Meskipun kami mengatakan bahwa ia kafir (artinya, perbuatan itu bisa menyebabkan kekafiran), Akan tetapi bisa jadi si pembuat undang-undang tersebut ma’dzur (termaafkan). Karena, misalnya ia terpedaya. Umpamanya dikatakan kepadanya,‘Ini tidak menyalahi Islam’, atau ‘Ini termasuk mashalih mursalah’, atau ‘Ini termasuk masalah yang oleh Islam dikembalikan kepada manusia’. (Lihat hal. 266-269)
Selanjutnya, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Kitab yang sama (hal. 271-272) berkata lagi:
Hendaknya difahami, bahwa seseorang wajib merasa takut kepada Allah (Rabb-nya) dalam menetapkan semua masalah hukum. Sehingga hendaknya, ia tidak terburu-buru menetapkan kepastian hukum, khususnya berkaitan dengan takfir (menjatuhkan hukum kafir terhadap seseorang). Suatu (penetapan hukum) yang kini menjadi mudah diucapkan oleh sebagian orang yang memiliki ghirah agama yang tinggi dan sangat emosional, tanpa berpikir jeli.
Padahal jika seseorang mengkafirkan orang lain, sedangkan orang lain itu tidak kafir, maka tuduhan kafir kembali kepada dirinya.
Mengkafirkan seseorang akan mengakibatkan banyak konsekwensi hukum. Diantaranya, orang yang dikafirkan menjadi halal darah dan hartanya. Begitu pula semua konsekwensi hukum kafir lainnya. Sebaliknya, kita tidak boleh pula takut mengkafirkan orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun tetapi wajib membedakan antara takfir mu’ayyan (mengkafirkan terhadap pribadi tertentu) dengan takfir ghairil mu’ayyan (mengkafirkan secara umum, tidak kepada pribadi tertentu).
Untuk mengkafirkan pribadi tertentu, membutuhkan dua hal:
Pertama : Ada ketetapan yang sudah jelas (berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah. Lihat Syarh Kasyfu Asy Syubuhat Fi At Tauhid, hal. 57). Bahwa sesuatu yang dilakukan oleh seseorang tertentu merupakan perbuatan yang benar-benar bersifat kekafiran.
Kedua : Syarat-syarat kekafiran atas dirinya sudah tepat. Diantara syaratnya yang terpenting, ialah ia faham, bahwa perbuatannya adalah mukaffir (menyebabkan ia kafir). Sehingga apabila ia tidak faham (jahil), maka ia tidak kafir. Karena itulah para ulama menyebutkan, diantara syarat pelaksanaan hukum hadd (pidana), hendaknya si terpidana memahami haramnya sesuatu yang dilakukannya. Ini berkaitan dengan pelaksanaan hukum hadd (pidana), bukan hukum mengkafirkan. Tentunya dalam masalah hukum mengkafirkan, maka yang lebih layak dan utama ialah harus lebih berhati-hati. Allah Subhanahu w Ta’ala berfirman:
لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللهِ حُجَّةُُ بَعْدَ الرُّسُلِ
“Agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu”. [An Nisa’:165].
وَمَاكُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً
“dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul”. [Al Isra’:15].
وَمَاكَانَ اللهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُم مَّايَتَّقُونَ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskanNya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi”. [At Taubah:115]
Disamping syarat-syarat takfir harus terpenuhi, penghalang-penghalangnya juga harus tidak ada. Sehingga, jika seseorang melakukan perbuatan yang bersifat kekafiran, namun karena adanya paksaan atau karena kebingungan, maka ia tidak menjadi kafir. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
مَن كَفَرَ بِاللهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِاْلإِيمَانِ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)”. [An Nahl:106].
Juga berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengkisahkan tentang seseorang yang tengah putus asa kehilangan onta beserta seluruh perbekalannya di tengah padang sahara sendirian. Tiba-tiba onta beserta segala perbekalannya ditemukan kembali. Karena sangat gembiranya, ia sampai mengatakan : ‘Ya Allah, Engkau adalah hambaKu, dan aku adalah TuhanMu’. Dia keliru dalam berkata, disebabkan teramat gembiranya.
TENTANG BODOH (TIDAK MENGERTI), ADAKAH PELAKU KEKAFIRAN KARENA BODOH BISA TERMAAFKAN? [2]
Berkaitan dengan permasalahan pertanyaan ini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menyangsikan pernyataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah yang mengatakan : …… seseorang bisa kafir hanya karena suatu perkataan yang ia cetuskan melalui lidahnya. Padahal ia mengucapkannya dengan tidak mengerti (bodoh), ternyata ia tidak termaafkan karena ketidak-mengertian (kebodohan)nya itu.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata, “Saya tidak yakin bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah berpandangan kalau kebodohan (ketidak-mengertian) tidak termaafkan (menyebabkan kekafirannya), kecuali jika kebodohannya benar-benar diakibatkan karena enggan mempelajari kebenaran. Misalnya, jika seseorang pernah mendengar kebenaran, tetapi ia tidak mempedulikannya dan mengabaikan upaya mempelajarinya. Maka yang ini tentu tidak termaafkan kebodohannya. Mengapa saya tidak yakin hal itu dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah ?
Sebab, beliau mempunyai pernyataan lain yang menunjukkan, bahwa beliau berpandangan ada maaf bagi kebodohan.
Beliau pernah ditanya tentang sesuatu yang menyebabkan orang diperangi karenanya, dan tentang sesuatu yang menyebabkan orang dinyatakan kafir karenanya?
Beliau menjawab: Rukun Islam yang lima, diawali dengan dua kalimat syahadat. Kemudian dilanjutkan empat rukun lainnya. Empat rukun Islam itu, jika seseorang telah mengikrarkan (mengimani)nya, namun kemudian tidak mengamalkannya karena bermalas-malas. Maka, sekalipun kami memeranginya -sebab ia tidak mengerjakannya- tetapi kami tidak mengkafirkannya. Ulama berselisih pendapat tentang orang yang meninggalkan shalat karena malas, bukan karena juhud (ingkar). Dan kami tidak mengkafirkan, kecuali dalam hal yang sudah menjadi kesepakatan semua ulama (jika ditinggalkan), yaitu dua kalimat syahadat.
Selanjutnya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah memaparkan secara panjang lebar tentang perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkaitan dengan siapa-siapa orang yang dinyatakan kafir (secara umum) oleh beliau. Kemudian menukil perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berikutnya: Adapun tentang tuduhan dusta dan bohong atas nama kami -ialah seperti perkataan mereka- bahwa kami mengkafirkan semua orang, mewajibkan orang bergabung dengan kami jika sudah mampu memperlihatkan agamanya. Atau (menuduh) kami (telah) menganggap kafir terhadap orang yang tidak mengkafirkan orang lain, atau tidak mau memerangi orang lain. Semua ini dan tuduhan-tuduhan lainnya yang lebih keji, hanyalah kedustaan dan kebohongan. Dimaksudkan untuk menghalangi umat agar tidak bisa memahami agama Allah dan RasulNya.
Jika kami tidak berani mengkafirkan orang yang menyembah patung di kuburan Abdul Qadir (Al Jailani) atau patung di kuburan Ahmad Al Badawi dan lain-lainnya -disebabkan oleh kebodohan (ketidak mengertian) mereka- maka bagaimana mungkin kami akan mengkafirkan orang yang tidak musyrik kepada Allah hanya karena tidak mau bergabung dengan kami, atau tidak mau mengkafirkan orang lain atau tidak mau memerangi orang lain?!.
سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ
Maha suci Engkau Ya Allah!. Ini merupakan kedustaan yang besar… …
Selanjutnya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan,”Perselisihan pendapat dalam masalah udzur bil jahli (termaafkan karena kebodohan), adalah seperti perselisihan fiqhiyah ijtihadiyah lainnya. Bisa jadi perselisihan itu hanya merupakan perselisihan lafdzi (redaksional) saja. Disebabkan berkaitan dengan penetapan hukum terhadap pribadi tertentu. Artinya, semua sepakat bahwa suatu perkataan tertentu adalah kufur, atau suatu perbuatan tertentu adalah kufur, atau meninggalkam perbuatan tertentu adalah kufur. Akan tetapi, tepatkah penetapan hukum kafir tersebut kepada seorang pribadi tertentu (mu’ayyan) dikarenakan syarat-syarat yang menuntut kekafirannya ada, sedangkan penghalangnya tidak ada? Ataukah penetapan hukum tersebut tidak dapat dikenakan kepadanya, karena sebagian syarat yang menuntut kekafirannya tidak ada, atau karena adanya sebagian penghalang?
Sebab, jahil (tidak mengerti, bodoh) terhadap perkara yang bersifat mengkafirkan terjadi karena dua macam sebab:
Pertama : Dari non muslim atau tidak beragama sama sekali, namun tidak pernah terlintas dalam benaknya, bahwa ada agama yang menyelisihi agama yang selama ini dianutnya. Maka orang semacam ini, berlaku hukum secara dhahir di dunia (yakni kafir). Adapun di akhirat, urusannya terserah kepada Allah l . Tetapi yang kuat, ia akan diuji di akhirat sesuai dengan kehendak Allah k . Allah-lah yang lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan. Tetapi kita mengetahui, bahwa seseorang tidak akan masuk neraka kecuali disebabkan oleh suatu dosa, berdasarkan firman Allah:
وَلاَيَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
“Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang juapun”. [Al-Kahfi : 49].
Kita katakan, hukumnya berlangsung secara dhahir baginya di dunia, yakni hukum kafir. Sebab ia tidak beragama Islam. Jadi tak mungkin ia dihukumi sebagai Islam. Kemudian, mengapa kita katakan bahwa pendapat yang kuat, ia akan diuji di akhirat? Sebab, banyak atsar yang menerangkan tentang itu yang dibawakan oleh Imam Ibnu Al Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Thariq Al Hijratain ketika beliau membahas madzhab ke 8 tentang bagaimana kedudukan anak-anaknya orang musyrik. Di bawah pembahasan tentang peringkat para mukallaf yang keempatbelas.
Kedua : Dari seseorang yang beragama Islam, tetapi ia hidup dengan melakukan perkara yang bersifat mengkafirkan. Namun tidak terlintas dalam benaknya, bahwa tindakannya menyimpang dari Islam, dan tidak pula ada seseorang yang mengingatkannya. Maka, berlakulah hukum Islam secara dhahir baginya (artinya, ia disebut muslim, pen.). Adapun di akhirat, urusannya terserah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Itu dibuktikan dengan Al Qur’an, Sunnah serta perkataan para ulama.”
Selanjutnya Syaikh memaparkan dalil-dalil dari ayat-ayat Al Qur’an, Sunnah dan perkataan Ulama, mulai dari Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah sampai Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab –rahimahumullah-. (Lihat hal. 52-55).
Seterusnya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata,“Jadi, pada asalnya orang yang menisbatkan diri sebagai Islam, tetap dalam keadaan Islam-nya, sampai terbukti secara jelas, bahwa Islam telah lenyap dari dirinya berdasarkan tuntutan dalil syar’i. Tidak boleh secara gegabah menyatakannya sebagai kafir. Sebab, disana terdapat dua resiko berat (yang harus dihadapi):
Pertama : Membuat kebohongan atas nama Allah dalam kaitannya dengan penetapan hukum. Dan membuat kebohongan terhadap orang yang dihukumi kafir dalam kaitannya dengan pembuatan julukan kafir terhadapnya.
Tentang bohong atas nama Allah, itu jelas, sebab ia menghukumi kafir terhadap seseorang yang tidak dikafirkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jadi, seperti orang yang mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah. Sebab menetapkan hukum kafir atau tidak, hanya menjadi hak Allah Subhanahu wa Ta’ala saja , seperti juga hak menetapkan hukum haram atau halal.
Tentang membuat kebohongan terhadap orang yang dihukumi kafir, karena telah memberikan sifat kepada seorang muslim dengan sifat sebaliknya. Ia katakana, kafir. Padahal orang tersebut terlepas dari kekafiran.
Kedua : Pantaslah jika penyebutan (anggapan) kafir itu membalik (kembali) kepada dirinya. Berdasarkan riwayat yang terdapat dalam Shahih Muslim, dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu. Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا –وفي رواية-: إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ
“Bila seseorang mengkafirkan saudaranya, maka kekafiran itu kembali pada salah seorang diantara keduanya. Dalam riwayat lain: jika benar tuduhannya…, kalau tidak, (maka) akan membalik kepada dirinya”. [HR Muslim, Kitab Al Iman, Bab: Bayan Hali Man Qala Li’akhihi Ya Kafir]”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin kemudian mengemukakan dalil lain yang senada, serta menjelaskan maksudnya (namun, di sini kami tidak menukilnya, pen.). Berikutnya beliau mengatakan.
“Itulah resiko besar kedua. Yakni kembalinya tuduhan itu kepada penuduh, jika saudaranya terbebas dari kekafiran. Ini merupakan resiko besar yang benar-benar dikhawatirkan akan mengenai orang seperti itu. Sebab pada umumnya, orang yang terburu-buru menyebut muslim sebagai kafir, kagum terhadap kegiatan amal dirinya dan meremehkan orang lain. Dengan demikian, bergabunglah dalam dirinya rasa kagum terhadap amal dirinya yang justeru dapat menghanguskannya, dengan kesombongan yang akan mengakibatkan datangnya azab Allah Azza wa Jalla di neraka. Sebagaimana telah diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلََّ : الكِبْرِيَاءُ رِدَائِي وَالْعَظَمَةُ إِزَارِي، فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِدًا مِنْهُمَا قَذَفْتُهُ فِي النَّارِ
“Allah Azza wa Jalla berfirman,”Kesombongan adalah selendangKu dan keagungan adalah kainKu. Maka, barangsiapa yang ingin mengambil salah satunya dariKu, niscaya Aku akan melemparkannya ke dalam neraka”.
PENUTUP
Demikianlah, pernyataan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin yang kami nukilkan secara bebas dan ringkas dari dua kitab beliau. Hendaknya seseorang jangan gegabah melakukan takfir (menjatuhkan hukum kafir kepada orang lain). Karena takfir merupakan hukum syar’i yang kembalinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, ketika ditanya tentang hukum mengkafirkan masyarakat, beliau menjawab:
“Tidaklah merupakan hak setiap orang untuk melontarkan takfir (menjatuhkan hukum kafir kepada orang lain), atau berbicara tentang takfir terhadap jama’ah atau individu. Takfir mempunyai pedoman-pedomannya. Barangsiapa yang melakukan satu pembatal diantara pembatal-pembatal Islam, maka ia dihukumi sebagai kafir.
Pembatal-pembatal Islam sudah diketahui. Yang paling besar ialah syirik kepada Allah Azza wa Jalla, mengaku mengetahui ilmu ghaib, dan berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah.
Allah berfirman,
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir”. [Al Ma’idah : 44].
Jadi persoalan takfir adalah persoalan yang berbahaya. Tidak boleh setiap orang berbicara melancarkan tuduhan kafir kepada orang lain. Persoalan ini merupakan wewenang mahkamah syar’iyah, wewenang para ahli ilmu (ulama) yang betul-betul memiliki kedalaman ilmu. Yaitu orang-orang yang memahami Islam, memahami pembatal-pembatal Islam, memahami keadaan-keadaan serta mempelajari situasi dan kondisi manusia dan masyarakat. Merekalah orang-orang yang memiliki hak untuk takfir (menjatuhkan hukum kafir kepada seseorang) dan hak-hak lainnya.
Adapun orang-orang bodoh, individu-individu umat serta orang-orang yang baru setengah-setengah dalam belajar, maka mereka tidak mempunyai hak untuk melancarkan tuduhan kafir kepada pribadi-pribadi, jama’ah-jama’ah atau negara-negara. Sebab, mereka tidak mempunyai keahlian dalam masalah hukum ini. (Lihat Al Muntaqa min Fatawa Fadhilat, Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan I/111-112, jawaban soal no. 63). Demikian. Wa nas alullaha at taufiq.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12//Tahun VI/1423H/2003M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1] Dari Kitab Al Al Qaul Al Mufid ‘Ala Kitab At Tauhid, jilid II halaman 266-272.
[2] Syarh Kasyfu Asy Syubuhat (Wa Yalihi Syarh Al Ushul As Sittah), hal. 46-60, I’dad Fahd bin Nashir As Sulaiman, Daar Ats Tsurayya.]
Sumber: http://www.almanhaj.or.id